Rabu, 20 Mei 2009

KONFLIK PENETAPAN TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI

STUDI KASUS PENGELOLAAN HUTAN
“KONFLIK DALAM PENETAPAN TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI”

1. KASUS
Gunung Merapi telah ditetapkan status kawasannya sebagai kawasan pelestarian alam dengan model pengelolaan taman nasional. Penetapan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) ini berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor134/MENHUT-II/2004 tanggal 4 Mei 2004 yang menetapkan perubahan fungsi kawasan hutan lindung, cagar alam, dan taman wisata pada kelompok hutan Gunung Merapi seluas 6.410 hektar yang terletak di Kabupaten Magelang, Boyolali, Klaten (Propinsi Jawa Tengah ) dan Kabupaten Sleman (Propinsi DI Yogyakarta).

Sejarah pembentukan TNGM tidaklah berjalan mulus dan penuh akan konflik dimana proses penetapan taman nasional ini sesungguhnya direncanankan pada tahun 2001 lalu namun akibat respon masyarakat dengan reaksi penolakannya maka keputusan dan rencana penetapan kawasan TNGM dikaji lagi, tetapi tiba-tiba pada tahun 2004 SK Menteri Kehutanan tersebut keluar dan banyak pihak yang merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, dan ironi nya masyarakat yang notabene telah menghuni beberapa wilayah di Merapi sejak lama merasa tidak dilibatkan dalam penarikan kesimpulan putusan bagi penetapan taman nasional ini. Selain itu banyak pihak yang menyarankan penarikan keputusan ini, salah satunya adalah Sekretaris Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM yang mengatakan bahwa proses penetapannya belum menyertakan analisis kelayakan teknis, ekonomi, dan lingkungan.

Menteri Kehutanan waktu itu adalah Muhammad Prakosa telah mengejutkan banyak pihak dengan keputusannya, salah satunya adalah Bupati Sleman Ibnu Subiyanto beserta jajaran Pemda Sleman yang merasa proses penetapan kawasan ini tidak transparan dan tidak melibatkan pemerintah terkait secara aktif. Namun dari pihak Konservasi Sumber Daya Alam menganggap keputusan ini telah final dan telah layak serta telah dengan pertimbangan yang matang.
Salah satu pemberi pertimbangan yaitu Fakultas Kehutanan UGM yang menyarankan ada kegiatan perlindungan dan pelestarian pada kawasan Merapi. Saat penetapan kawasan tersebut sesungguhnya kajian dari pihak Fakultas Kehutanan UGM belumlah selesai, sehingga penetapan terkesan tergesa-gesa. Sigit Widdiyanto, Koordinator LSM Kappala yang ikut merumuskan studi kelayakan TNGM menyatakan sangat kecewa. "Keluarnya SK tersebut membuktikan bahwa pemerintah pusat masih sangat dominan dan mengabaikan aspirasi banyak pihak. Apalagi, setahu kami, studi kelayakan yang diprakarsai Fakultas Kehutanan UGM itu belum selesai. Kok, tiba-tiba sudah ada SK TNGM," katanya. Selain itu pengambilan keputusan yang tergesa-gesa mengindikasikan kecurigaan akan adanya rencana besar pemerintah yang tidak dipaparkan untuk umum serta adanya kepentingan lain yang terselubung dibalik keputusan.


Pihak yang keras menolak penetapan kawasan ini adalah pihak masyarakat adat dan petani sekitar Gunung Merapi karena khawatir akan keterbatasan akses mereka terhadap kawasan taman nasional. Dalam pertemuan yang diadakan di Dusun Deles, Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Klaten tnggal 30 Juni 2004, ribuan warga yang merupakan perwakilan dari kabupaten Sleman, Magelang, Boyolali, dan Klaten menyatakan penolakannya atas penetapan TNGM. Mereka mengkhawatirkan akan hilangnya akses mereka terhadap hutan yang selama ini menjadi gantungan hidup mereka sehari-hari (Kompas, 1 Juli 2004: 28).

Protes dari masyarakat semakin meningkat dengan adanya rencana gugatan secara hukum terhadap SK Menteri Kehutanan Nomor134/MENHUT-II/2004 karena proses penetapan tidak sesuai prosedur, gugatan ini sendiri diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan ini dilatar belakangi oleh rasa pelecehan terhadap peran masyarakat dalam penetapan kawasan serta rasa was-was masyarakat yang sehari-hari berladang dan mengambil pakan ternak di kawasan Gunung Merapi.

2. ANALISIS
Analisis dalam konflik penetapan Taman Nasional Gunung Merapi ini dapat kita dekati dengan konsep konflik antara masyarakat dan negara, antara lain:
• Konflik karena perbedaan kepentingan lazim terjadi bersamaan dengan adanya pembagian atau distribusi resources, faslilitas, pelayanan, dan kesempatan yang tidak adil (terjadi perbedaan akses)
• Semakin besar manipulasi dan monopoli kelompok tertentu pada resources, fasilitas, pelayanan, dan kesempatan yang dibutuhkan secara kolektif maka semakin keras konflik yang terjadi. Semakin terisolir kelompok tertentu dari resources, fasilitas, pelayanan, dan kesempatan yang dibutuhkan secara kolektif, semakin keras perlawanan yang diberikan, dan itu berarti semakin keras pula kemungkinan konflik yang terjadi (Usman, 2007).

Pendekatan konsep konflik tersebut dapat membantu menentukan esensi dari konflik yang terjadi sehingga dapat berguna untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.
Konflik dalam penetapan Taman Nasional Gunung Merapi menyangkut beberapa masalah pokok antara lain:
• Tidak melibatkan pertimbangan pemda
• Tidak melibatkan pertimbangan masyarakat dan petani
• Tidak transparan dalam penetapannya
• Diputuskan saat kajian teknis, social, ekonomi selesai (tergesa-gesa)
Dari masalah pokok di atas maka tampak konflik antara masyarakat – pemerintah (menhut); Pemda Sleman – menhut.
Konsep konflik yang pertama mengatakan bahwa konflik terjadi ketika pembagian atau distribusi resource (sumber daya). Pada kasus ini tampak bahwa konflik yang terjadi karena pembagian resource yang dalam hal ini resourcenya adalah kawasan Gunung Merapi. Antar dua kelompok yaitu masyarakat dan pemerintah sangat kontras kepentingannya dalam konflik ini. Sifat penetapan taman nasional yang minim kajian social sehingga banyak aktivitas social yang kepada di dalam kawasan yang tergusur serta kegiatan ekonomi masyarakat padahal masyarakat telah menempati ini sebelum kawasan ini ditetapkan menjadi kawasan taman nasional. Pemerintah dengan system peraturan yang top-down sehingga berakibat system penguasaan yang memusat dan monopoli tinggi dalam kawasan ini. Masyarakat cenderung menolak konsep taman nasional juga dikarenakan paradigm masyarakat tentang taman nasional, sedangkan masyarakat mengetahui bahwa taman nasional adalah kawasan hutan yang tidak boleh atau tanpa akses bebas masyarakat. Kegiatan masyarakat yang sebelumnya adalah beternak mencari HMT ataupun berladang menjadi terganggu. Konflik yang terjadi juga karena kekhawatiran masyarakat akan aksesnya baik dalam hal ekonomi, social maupun budaya. Konflik yang terjadi tidak hanya harus kita lihat dari sisi negative pemerintah dengan ketergesa-gesaan penetapan peraturannya tetapi kita juga harus melihat sisi positf dari pemerintah dan sisi negative dari kepentingan masyarakat karena konflik secara umum hanyalah karena masalah perbedaan kepentingan sehingga dengan diketahuinya sisi positif dan negative dari masyarakat maka juga dapat ditentukan solusi yang “kira-kira” dapat diterapkan di lapangan yaitu dengan cara memperbaiki atau menghapus sisi negative dari masing-masing pihak.
Dalam hal konflik antara pemda dengan menhut yaitu sebatas masalah kewenangan dimana tidak dilibatkannya pemda dalam pengambilan keputusan yang ada. Masalah kewenangan seperti ini kembali lagi ke system pengambilan keputusan yang cenderung top-down sehingga konsekuensinya adalah tidak adanya aspirasi pemda sebagai pemerintah local. Pemda Sleman selaku pemerintah daerah seharusnya mendapat bagian tersendiri dalam penetapan keputusanb mengingat kawasan Gunung Merapi terletak di daerah Sleman.
Konsep konflik yang kedua menyatakan bahwa semakin besar monopoli kelompok tertentu terhadap resources akan semakin keras konflik yang terjadi serta semakin terisolir kelompok tertentu terhadap resources akan semakin keras perlawanan yang diberikan sehingga konflik yang terjadi juga akan semakin keras. Konflik yang terjadi ada karena monopoli pemerintah pusat dalam hal ini menteri kehutanan mengakibatkan masyarajat merasa kawasan telah dikuasai secara penuh tanpa masyarakat didalamnya selain itu Pemda Sleman juga merasakan monoploli dalam system Taman Nasional Gunung Merapi dimana dalam pengambilan keputusan saja Pemda Sleman tidak dilibatkan. Konflik yang terjadi karena pembatasan atau keterisoliran suatu kelompok terhadap resources lebih kepada konflik antara masyarakat dan negara dimana seolah kawasan Taman Nasional Gunung Merapi yang sebelumnya merupakan kawasan mata pencaharian menjadi sebuah wilayah yang seolah terdapat pagar listrik sehingga dengan terisolirnya masyarakat terhadap akses sumber daya yang ada di merapi mengakibatkan perlawanan dan konflik yang keras.
Selain dengan analisis teori konflik di atas, masalah dalam penetapan Taman Nasional Gunung Merapi ini juga dapat dianalisis dengan teori tertentu yang kemudian dapat membantu dalam menentukan perspektif sebagai kaca mata pemikiran ketika memahamai masalah social pada kasus TNGM ini. Salah satu teori yang dapat digunakan adalah teori konflik.
Pada teori konflik terkandung perspektif konflik nilai serta institusional. Serta kasus penetapan kawasan Taman Nasional Gunung Merapi dapat didekati dengan kedua perspektif ini. Teori konflik secara garis besar menjelaskan tentang wewenang dan posisi, yang keduanya merupakan fakta social. Distribusi wewenang dan kekuasaan secara tidak merata menjadi factor yang menentukan konflik social. Selain itu kekuasaan dan wewenang menempatkan individu pada posisi atas dan bawah. Dalam masyarakat selalu terdapat golongan yang saling bertentangan, yaitu golongan yang berkuasa dan yang dikuasai. Masing-masing golongan dipersatukan oleh ikatan kepentingan nyata yang bertentangan secara substansional.
Teori dan perspektif di atas jelas kita temui pada kasus TNGM. Akibat ada pihak yang berkuasa (pemerintah) dan pihak yang dikuasai (rakyat) sekitar taman nasional maka aka nada konflik ketika ada keputusan yang content-nya mengakibatkan perbedaan kepentingan. Di satu sisi pemerintah menginkan pembentukan taman nasional sementara di sisi lain rakyat menginginkan kawasan gunung merapi tidak menjadi taman nasional. Sebenarnya sebuah substansi tentang siapa yang berkuasa dan siapa yang dikuasai harus ada karena dengan hal ini pula dapat dijamin atau tidak sebuah keputusan berjalan atau tidak.
Konflik nilai yang terjadi pada kasus ini sangat berkaitan dengan konflik institusional. Dimana permasalah yang terjadi juga antara pemerintah dengan pemerintah yaitu tidak dilibatkannya pemerintah Sleman dalam penetapan keputusan penetapan kawasan merapi menjadi taman nasional serta rakyat juga merupakan sebuah institusi dimana didalamnya juga ada pembagian-pembagian wewenang tersendiri. Antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah terjadi konflik serta secara institusional pihak Pemda Sleman merasa kurang dihargai secara instituisonal karena penarikan keputusan serta-merta tanpa Pemda Sleman. Dari hal ini lah nilai-nilai intitusi mengalami pergesekan dan mengakibatkan perbedaan pendapat dan kepentingan. Selain itu bukan hanya pihak Pemda Sleman dimana rakyat sekitar Merapi secara institusional juga merasa dilecehkan karena tidak diajak dalam proses pengambilan keputusan ini.
Solusi bagi konflik antara Pemda Sleman dengan Menteri Kehutanan adalah:
• System pembagian kewenangan yang lebih desentralistik dalam pengelolaan sebuah kawasan sehingga dengan adanya pembagian kewenangan yang lebih terarah
• Merubah beberapa keputusan yang tidak cocok dan menguntungkan bagi kawasan dan perubahan keputusan tersebut harus dengan kontribusi masyarakat serta pemerintah setempat
Solusi bagi konflik antar masyarakat dengan pemerintah adalah:
• Penjelasan kepada masyarakat tentang konsep taman nasional dan zonasinya
• Penetapan kawasan zona istimewa dengan kegiatan masyarakat didalamnya
• Penetapan beberapa wilayah sebagai wilayah dengan akses dari masyarakat untuk pemanfaatan
• Kajian social, ekonomi dan budaya bagi penetapan kawasan taman nasional
• Melibatkan banyak pihak dalam kajian seperti akademisi, budayawan, tokoh masyarakat
• Memperbaiki hubungan pemerintah pusat dan daerah serta rakyat (institusional)
• dll
Secara umum solusi yang dapat dilakukan adalah dengan perbaikan tata aturan zonasi, tata aturan akses. Selain itu kajian terhadap kondisi social ekonomi yang ada juga sangat penting dilakukan. Sebagai sebuah pertimbangan apakah wajar melestarikan flora dan fauna sedangkan masyarakat di sekitar kawasan kelaparan karena kurangnya akses terhadap sumber daya yang ada. Keputusan seperti ini dapat saja menjadi sebuah kemunafikan ketika tidak mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat, dimana kelestarian flora dan fauna harus terjamin sedangkan rakyat miskin dan kelaparan. Konservasi bukanlah kegiatan satpam atau security tentang boleh dan tidak boleh tetapi konservasi adalah tentanng mengarahkan kelompok kepada penggunanaan yang bijaksana. Inti dari konflik ini adalah tentang kewenangan pemerintah dan kekhawatiran masyarakat.

PANGANDARAN, GREEN CANYON, PURBALINGGA, FROM JOGJA I'M COMING

Uda siap neh buat touiring bareng anak2 , lagian jumat bolos aja coz hari ny kejepit.
persiapan uda mateng, bagaikan teloor yang dimasak pada suhu 100-103 derajat celcius. hem, ini touring paling jauh yang aq lewatin.., bkalan seru bgt neh..
so buat yang baca ni tulisan, siap2 aja posting foto dr gw..

PANAGANDARAN I'M COMING
LETS SAY BISMILLAHIRROHMANIRROHIM